Mencari titik temu antara organisasi dan akademik merupakan
hal yang penting, sebab dalam stigma publik keduanya saling bertentangan.
Organisasi dipandang sebagai lawan dari akademik, begitupun sebaliknya, oleh
karena (menurut stigma ini) pencapaian prestasi disalah satu sisi berkorelasi
negatif dengan sisi sebaliknya. Perkembangan stigma publik tentang pertentangan
ini tentunya tak lepas dari fakta-fakta yang tercerapi bahwa para mahasiswa
yang aktif dalam organisasi memiliki indeks prestasi (IP) yang rendah, sementara
mahasiswa yang hanya fokus dalam pencapaian prestasi akademiknya terpental dari
organisasi.
Adanya
ketakutan pada diri mahasiswa (terutama MABA) akibat stigma publik tentang
organisasi, ditambah dengan pandangan umum bahwa organisasi hanyalah kebutuhan
sekunder membuat pilihan untuk tidak berkecimpung di wilayah organisasi menjadi
pilihan yang paling mungkin untuk diambil. Padahal yang mestinya dilakukan oleh
para mahasiswa adalah menganalisis stigma tersebut agar tidak terjebak pada
posisi dilematis.
Jika
dicermati stigma ini adalah generalisasi terhadap beberapa kasus tentang para
mahasiswa yang menggeluti organisasi. Penarikan kesimpulan secara generalisasi
berawal dari pencerapan terhadap beberapa kasus partikular yang darinya ditarik
satu kesimpulan umum yang berlaku pada setiap kasus tersebut. Akan tetapi,
kelemahan metode ini adalah tidak semua sampling (mahasiswa) dapat di teliti
sehingga kesimpulannya bergantung pada perwakilan sampling dan kondisi
lingkungan di ambilnya sampel tersebut. Pemilihan sampling secara acak dan
kondisi sosial wilayah dimana sampling tersebut di ambil mengakibatkan hasil
generalisasi tidak dapat diterapkan sepenuhnya hingga meliputi sisi yang tidak
diteliti. Oleh karena itu, stigma ini sepenuhnya tidak dapat dibenarkan. Sebab
pada faktanya masih ada para mahasiswa yang mampu membangun korelasi positif
dan produktif seputar relasi akademik dan organisasi.
Hal
yang mesti dipahami oleh setiap mahasiswa adalah bahwa akademik dan organisasi
merupakan kebutuhan pengetahuan. Akademik memperkaya sisi teoritis dan praktis
menyangkut ilmu tertentu, sementara organisasi memberikan kerangka dan tata
cara implementasi dalam membangun sosialitas manusia. Walhasil, sangatlah tidak
bijak untuk mempertentangkan keduanya, atau meninggalkan salah satunya,
mengingat keduanya merupakan kebutuhan pengetahuan yang tentunya saling melengkapi
dan beriringan. Selanjutnya tinggal membangun tata cara dalam relasi akademik
dan organisasi. Mesti ada skala prioritas, hal-hal aksidentil yang tidak
berkorelasi positif dan produktif seyogyanya ditinggalkan.
Mahasiswa
akademisi dan organisatoris diklaim merupakan idealitas dari ciri
kemahasiswaan. Dalam konsepsi ini, mahasiswa tidak saja memahami disiplin ilmu
yang digelutinya, akan tetapi juga memiliki kemampuan organisasi yang menjadi
katalisator dalam implementasi teori di lingkungan sosial. Keseimbangan dua
sisi ini (organisasi dan akademik) akan melahirkan tunas peradaban yang tidak
saja cerdas dalam eksplorasi keilmuan, akan tetapi juga peka terhadap kebutuhan
bangsa sebagai bentuk tanggungjawab sosial yang merupakan konsekuensi
pengetahuan yang dimilikinya. Indonesia membutuhkan generasi yang mampu
menuntaskan permasalahan kemiskinan, pendidikan dan moralitas yang akhir-akhir
ini menjadi polemic akibat akumulasi dari dapur magma perselingkuhan elit yang
selama ini bergejolak dibalik dasi para pembesar negeri ini. Sebuah generasi
yang merupakan garda depan dalam tiap sisi dimana bangsa membutuhkannya.
Kampus
merupakan Rahim pertiwi yang kini tengah mengandung cikal tunas peradaban bangsa, yang diharapkan dapat menjadi lokomotif pembaharuan. Akan tetapi, hal
ini hanya akan jadi utopia ketika sistem pendidikan hanya berorientasi kepada
perolehan angka dan para mahasiswanya tidak memiliki kesadaran tentang
keharusan dirinya untuk lahir sebagai lokomotif pembaharu yang mampu menuntun
bangsa untuk keluar dari kemelut yang mengkungkung nilai-nilai keadilan.
Pendidikan harus mampu hadir sebagai pembebasan dari polemik sosial. Sementara
itu para mahasiswa mesti memahami bahwa transformasi sosial berbasis pada
evolusi dirinya dalam intelektual, spiritual dan tanggungjawab sosialnya.
Dengan demikian tunas peradaban yang lahir dari Rahim pertiwi akan mampu
membingkai Indonesia yang paripurna dimana nilai-nilai sosial menyempurna. (*qvt)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar