Minggu, 06 Oktober 2013

Relasi Akademik dan Organisasi dalam Membingkai Tunas Peradaban

Mencari titik temu antara organisasi dan akademik merupakan hal yang penting, sebab dalam stigma publik keduanya saling bertentangan. Organisasi dipandang sebagai lawan dari akademik, begitupun sebaliknya, oleh karena (menurut stigma ini) pencapaian prestasi disalah satu sisi berkorelasi negatif dengan sisi sebaliknya. Perkembangan stigma publik tentang pertentangan ini tentunya tak lepas dari fakta-fakta yang tercerapi bahwa para mahasiswa yang aktif dalam organisasi memiliki indeks prestasi (IP) yang rendah, sementara mahasiswa yang hanya fokus dalam pencapaian prestasi akademiknya terpental dari organisasi.
Adanya ketakutan pada diri mahasiswa (terutama MABA) akibat stigma publik tentang organisasi, ditambah dengan pandangan umum bahwa organisasi hanyalah kebutuhan sekunder membuat pilihan untuk tidak berkecimpung di wilayah organisasi menjadi pilihan yang paling mungkin untuk diambil. Padahal yang mestinya dilakukan oleh para mahasiswa adalah menganalisis stigma tersebut agar tidak terjebak pada posisi dilematis.
Jika dicermati stigma ini adalah generalisasi terhadap beberapa kasus tentang para mahasiswa yang menggeluti organisasi. Penarikan kesimpulan secara generalisasi berawal dari pencerapan terhadap beberapa kasus partikular yang darinya ditarik satu kesimpulan umum yang berlaku pada setiap kasus tersebut. Akan tetapi, kelemahan metode ini adalah tidak semua sampling (mahasiswa) dapat di teliti sehingga kesimpulannya bergantung pada perwakilan sampling dan kondisi lingkungan di ambilnya sampel tersebut. Pemilihan sampling secara acak dan kondisi sosial wilayah dimana sampling tersebut di ambil mengakibatkan hasil generalisasi tidak dapat diterapkan sepenuhnya hingga meliputi sisi yang tidak diteliti. Oleh karena itu, stigma ini sepenuhnya tidak dapat dibenarkan. Sebab pada faktanya masih ada para mahasiswa yang mampu membangun korelasi positif dan produktif seputar relasi akademik dan organisasi.
Hal yang mesti dipahami oleh setiap mahasiswa adalah bahwa akademik dan organisasi merupakan kebutuhan pengetahuan. Akademik memperkaya sisi teoritis dan praktis menyangkut ilmu tertentu, sementara organisasi memberikan kerangka dan tata cara implementasi dalam membangun sosialitas manusia. Walhasil, sangatlah tidak bijak untuk mempertentangkan keduanya, atau meninggalkan salah satunya, mengingat keduanya merupakan kebutuhan pengetahuan yang tentunya saling melengkapi dan beriringan. Selanjutnya tinggal membangun tata cara dalam relasi akademik dan organisasi. Mesti ada skala prioritas, hal-hal aksidentil yang tidak berkorelasi positif dan produktif seyogyanya ditinggalkan.
Mahasiswa akademisi dan organisatoris diklaim merupakan idealitas dari ciri kemahasiswaan. Dalam konsepsi ini, mahasiswa tidak saja memahami disiplin ilmu yang digelutinya, akan tetapi juga memiliki kemampuan organisasi yang menjadi katalisator dalam implementasi teori di lingkungan sosial. Keseimbangan dua sisi ini (organisasi dan akademik) akan melahirkan tunas peradaban yang tidak saja cerdas dalam eksplorasi keilmuan, akan tetapi juga peka terhadap kebutuhan bangsa sebagai bentuk tanggungjawab sosial yang merupakan konsekuensi pengetahuan yang dimilikinya. Indonesia membutuhkan generasi yang mampu menuntaskan permasalahan kemiskinan, pendidikan dan moralitas yang akhir-akhir ini menjadi polemic akibat akumulasi dari dapur magma perselingkuhan elit yang selama ini bergejolak dibalik dasi para pembesar negeri ini. Sebuah generasi yang merupakan garda depan dalam tiap sisi dimana bangsa membutuhkannya.
Kampus merupakan Rahim pertiwi yang kini tengah mengandung cikal tunas peradaban bangsa, yang diharapkan dapat menjadi lokomotif pembaharuan. Akan tetapi, hal ini hanya akan jadi utopia ketika sistem pendidikan hanya berorientasi kepada perolehan angka dan para mahasiswanya tidak memiliki kesadaran tentang keharusan dirinya untuk lahir sebagai lokomotif pembaharu yang mampu menuntun bangsa untuk keluar dari kemelut yang mengkungkung nilai-nilai keadilan. Pendidikan harus mampu hadir sebagai pembebasan dari polemik sosial. Sementara itu para mahasiswa mesti memahami bahwa transformasi sosial berbasis pada evolusi dirinya dalam intelektual, spiritual dan tanggungjawab sosialnya. Dengan demikian tunas peradaban yang lahir dari Rahim pertiwi akan mampu membingkai Indonesia yang paripurna dimana nilai-nilai sosial menyempurna. (*qvt)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar